Salah satu kesalahan ditengarai menjadi penyebab merosotnya mutu pendidikan nasional adalah penyelenggaraan pendidikan nasional yang dilakukan secara birokratik-sentralistik. Sekolah banyak berfungsi sebagai penampung juklak-juknis keputusan birokrasi yang sering tidak sesuai dengan kondisi sekolah tersebut. Ujung-ujungnya sekolah menjadi kehilangan kemandirian, motivasi dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional.
Upaya perbaikan atas kenyataan tersebut dijalankan dengan dukungan suasana kondusif berupa penetapan otonomi daerah di bidang pendidikan dan kebudayaan, yang berimplikasi antara lain pada penyelenggaraan otonomi pengelolaan pendidikan dan otonomi sekolah, sehingga mencegah terulangnya penyelenggaraan pendidikan nasional secara birokratik-sentralistik.
Meskipun seperti itu pola pikir dan harapan para penggagas KTSP, sekolah tetap tidak akan mungkin melenyapkan hegemoni pemerintah. Otonomi sekolah yang konon sempurna apabila berpedoman pada Manajemen Berbasis Sekolah ternyata baru terselenggara dalam banyak wacana. Ini terungkap pada pagelaran gagasan demi gagasan apik dalam panggung seminar. Bahwa sudah mulai diketemukan munculnya kembali fenomena birokratik-sentralistik baru di daerah berkat diperolehnya otonomi daerah tersebut (Prof. Dr. Mudjiarto, M.Pd, Otonomi Sekolah dan Prospek Pelaksanaan Model MBS, 2004 )
Jadi, jika tiba-tiba terjadi kasus di mana suatu kebijakan pemerintah ditolak oleh pihak sekolah, apakah gejala ini layak disebutkan sebagai perwujudan mimpi lama tentang otonomi sekolah dan tercegahnya penyelenggaraan pendidikan secara birokratik-sentralistik?
Cobalah kita segarkan ingatan sejenak kepada seorang Ibu Guru Nurlaila yang berjuang membela murid-muridnya di SMP 56 Jakarta dalam kasus ruilslag bangunan sekolah, ganjarannya jelas menyakitkan. Beliau diberhentikan dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil.
Atau belum juga terhapus dari ingatan tentang betapa kerasnya gerakan para aktivis LSM pendidikan, para praktisi dan ahli pendidikan serta kalangan DPR menginginkan UAN segera dihabisi. Tetapi, dalam suasana empati pasca tsunami Aceh, kita malah terusik perih oleh pencerminan arogansi eksekutif dengan keputusan Mendiknas tentang pelaksanaan UAN yang diganti namanya dengan Ujian Nasional (UN) tahun 2005. (Kompas, 20 Januari 2005 ).
Kasus lain di Bandung tahun 2007. Penjatuhan hukuman disiplin berupa penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun terhadap Iwan Hermawan, S.Pd guru SMA Negeri 9 Kota Bandung Sekretaris Jenderal DPP FGII. Karena dituduh menyebarkan berita kebocoran Ujian Nasional.
Catatan-catatan kegagalan para guru dan stakeholders pendidikan dalam upaya memenangkan tuntutan mereka tersebut semakin memperjelas pemahaman kita akan ungkapan sinis pemerintah kok dilawan! Dan fenomena birokratik-sentralistik masih tetap akan berdiri kokoh menjaga gawang kekuasaan pemerintah (Depdiknas).
Jadi, guru dan atasan guru, coba tolak UN 2009 kalau berani!
Label: pendidikan